1. Jelaskan
mengenai Hapusnya Hak Tanggungan!
Jawab :
Menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/1996 atau
Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), hapusnya Hak Tanggungan yakni karena
hal-hal sebagai berikut:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan (konsekuensi sifat
accessoir-nya)
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri.
Sudikno Merto Kusumo (salim hlm.
187)mengemukakan ada 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya Hak Tanggungan.
Keenam cara tersebut disajikan berikut ini :
a.
Dilunasinya
hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur. Disini tidak
terjadi cidera janji atau sengketa.
b.
Debitur
tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh
kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan
dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan sukarela, sehingga dengan demikian
utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
c.
Debitur
cedera janji. Dengan adanya cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan
parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan
pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan
demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
d.
Debitur
cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke
pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan
umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang
piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
e.
Debitur
cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh
kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan
kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara sukarela
seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh
debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang
berakhir.
f.
Debitur
tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya dan menghukum
melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan
pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan
mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.
Menurut Pasal 22 ayat (1)
UUHT, setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.
Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan
melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor
bahwa pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu lunas. Apabila karena suatu hal
sertifikat Hak Tanggungan dapat diganti dengan pernyataan tertulis dari
kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas (Pasal 22 ayat (4) UUHT).
Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud,
maka pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan
cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tangggungan didaftar (Pasal 22
ayat (5) UUHT).
Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dijadikan jaminan tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang
kreditor tetap ada tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferen. Dalam
hal hak atas tanah berakhir jangka waktunya dan diperpanjang berdasarkan
permohonan yang diajukan sebelum berakhir jangka waktu tersebut, maka Hak
Tanggungan tetap melekat kecuali ada pembaharuan hak atas tanah menjadi baru
maka Hak Tanggungan semula membebani menjadi hapus sehingga harus dilakukan
pembebanan Hak Tanggungan baru. Dalam hal perpanjangan maupun pembaharuan hak
atas tanah dibutuhkan surat persetujuan kreditor selaku pemegang Hak
Tanggungan.
2. Jelaskan
mengenai Surat Kuasa Membebani Hak Tanggungan (SKMHT)!
Jawab :
Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum angka 7 UUHT
pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak
Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak
Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut
harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi
persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak
dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi
hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak
permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak, Tanggungan
atau tidak memenuhi persyaratan termaksud di atas.
Menurut Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja
SKMHT merupakan surat kuasa khusus yang menberikan kuasa kepada kreditur khusus
untuk membebankan Hak Tanggungan saja. SKMHT adalah pemberian kuasa dari satu
obyek hukum (orang/badan hukum) kepada subyek hukum lainnya (Penerima Kuasa)
untuk melakukan satu urusan tertentu (membebankan hak tanggungan). Dengan
demikian SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan pemberi Hak Tanggungan kepada
Kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan untuk membebankan Hak Tanggungan atas
obyek Hak Tanggungan .
Mengenai surat kuasa membebakan hak tanggungan (SKMHT) dalam Pasal 15 UUHT disebutkan
bahwa:
a. SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada yang membebankan hak tanggungan. Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa
untuk melakukan perbuatan hukum lain” dalam
ketentuan ini misalnya
tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah.
2) Tidak memuat kuasa subtitusi Pengertian substitusi disini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Dengan
demikian bukanlah merupakan subtitusi, apabila
penerima kuasa memberikan
kuasa kepada pihak lain dalam rangka penguasaan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang
diterimanya kapada
cabangnya atau pihak lain.
3) Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta idetitas kreditornya,
nama dan identitas debitor apabila kejelasan
mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan
pemberi hak tanggungan
tidak dapat hadir dihadapan PPAT diperlukan penggunaan SKMHT. Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan mengenai muatannya
sebagaimana ditetapkan
pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.
PPAT wajib menolak
permohonan untuk membuat SPHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas.
b. Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali
atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa terbut
telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya
c. SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
d. SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan.
Tanah yang belum terdaftar
batas waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah didaftar,
karena mengingat pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan, yang terlebih
dahulu perlu dilengkapi persyaratannya.
Persyaratan bagi pendaftaran
hak atas tanah yang belum terdaftar meliputi diserahkannya surat-surat yang
memerlukan waktu untuk memperolehnya, misalnya surat keterangan riwayat tanah,
surat keterangan dari kantor pertanahan bahwa tanah yang bersangkutan belum
bersertipikat, dan apabila bukti kepemilikan tanah tersebut masih atas nama
orang yang sudah meninggal, surat keterangan waris.
Ketentuan ini berlaku juga
terhadap tanah yang sudah bersertipikat, tetapi belum didaftar atas nama
pemberi hak tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah
yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya, atau penggabungannya.
e. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak
berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan
pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian
kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit
kecil, kredit pemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu
berlakunya SKMHT tesenut tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT
untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh menteri berwenang di bidang pertanahan
setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan menteri keuangan, Gubenur
Bank Indonesia, dan pejabat lain yang terkait.
f. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dakam waktu yang
ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu
yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal
demi hukum.
Ketentuan mengenai batas waktu
berlakunya SKMHT dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan
kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT baru.
3. Jelaskan
mengenai Janji-Janji Fakultatif!
Jawab :
Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji
yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT
(Pasal 11 ayat (2) UUHT). Dalam hal ini, janji-janji tersebut tidak diwajibkan
atau bersifat pilihan dimana pihak-pihak
bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut
dalam APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian di daftar
pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji terdebut juga mempunyai kekuatan
mengikat terhadap pihak ketiga.
Adapun janji-janji yang disebutkan dalam
APHT sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2), antara lain:
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi
Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi
Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang
Hak Tanggungan;
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh
cidera janji;
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu
diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan Undang-undang;
e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila
debitur cidera janji;
f.
Janji
yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan
tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak
akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan
dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum;
i.
Janji
bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang
asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
objek Hak Tanggungan diasuransikan;
j.
Janji
bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu
eksekusi Hak Tanggungan;
k. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang
telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan
kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya.
4. Jelaskan
mengenai Objek Hipotik Kapal Laut!
Jawab :
Objek hipotik kapal laut adalah kapal laut yang
beratnya diatas 20 m3, dan memenuhi unsur-unsur berikut:
a.
adanya hak kebendaan pada kapal laut;
b. kapal
laut yang telah didaftar; dan
c. dilakukan
dengan membuat akta hipotek di tempat mana kapal semula didaftar.
5. Sebutkan
Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hipotik Kapal Laut!
Jawab :
Sejak terjadinya pembebanan hipotek kapal laut, maka sejak saat
itulah timbul akibat bagi kedua belah pihak. Akibat hukum itu timbul hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
1. Hak pemberi hipotek:
a. Tetap menguasai bendanya;
b. Mempergunakan bendanya;
c. Melakukan tindakan
penguasaan asal tidak merugikan pemegang hipotek;
d. Berhak menerima uang
pinjaman.
2.
Kewajiban pemegang hipotek:
a. Membayar pokok beserta
bunga pinjaman uang dari jaminan hipotek;
b. Membayar denda atas
keterlambatan melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga;
3.
Hak pemegang hipotek:
a. Memperoleh penggantian
daripadanya untuk pelunasan piutangnya jika debitur wanprestasi;
b. Memindahkan piutangnya,
karena hipotek bersifat accesoir, maka dengan berpindahnya hutang pokok maka
hipotek ikut berpindah.
6. Jelaskan
mengenai Hapusnya Hipotik Kapal Laut!
Jawab :
Hapusnya hipotek adalah tidak berlaku lagi hipotek yang dibebankan
atas kapal laut. Di dalam pasal 1209 KUHPerdata diatur tentang hapusnya
hipotek. Hapusnya hipotek karena 3 hal, yaitu:
a. Hapusnya perikatan pokok;
b. Pelepasan hipotek itu oleh
kreditur; dan
c. Pengaturan urutan tingkat
oleh pengadilan.
Di dalam 3.4.1.2 NBW diatur juga tentang hapusnya hipotek. Hapusnya
hipotek menurut ketentuan ini adalah karena:
a. Hapusnya hak menjadi
landasan lahirnya hak terbatas;
b. Jangka waktunya berakhir
atau telah terpenuhinya syarat batal;
c. Dilepaskan dengan sukarela
oleh yang mempunyai hak;
d. Dihentikan sebelum jangka
waktu berakhir, bila kewenangan itu diberikan haknya kepada pemegang hak
terbatas atau kepada keduanya;
e. Karena percampuran.
7. Jelaskan
mengenai Eksekusi Hipotik Kapal Laut!
Jawab:
Ketentuan
yang mengatur tentang eksekusi kapal laut yaitu:
a.
Pasal
224 HIR berkaitan dengan hipotik pada umumnya mengatur bahwa gross atau copy
pertama yang otentik dari akte hipotik memiliki status yang sama dengan putusan
[pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotik dapat
meminya bantuan pengadilan untuk melakukan eklsekusi terhadap objek hipotik.
b.
Dalam
KUH Perdat yang berlaku untuk hipotik kapal laut disebutkan bahwa pemegang
hipotik dapa melakukan penjualan sendiri atas objek hipotik yang prosedurnya
dilakukan dengan cara lelang umum.
Pemegang Hipotek Kapal Laut (Kreditor) dapat menempuh
cara pemenuhan pembayaran utang apabila debitur melakukan wanprestasi, melalui
upaya hukum sebagai berikut:
a. Proses litigasi.
Mengajukan gugatan perdata dalam bentuk
gugatan kontentiosa melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif
dalam Pasal 118 HIR.
b. Mengajukan permintaan eksekusi.
Berdasarkan Pasal 224 HIR Pasal 440 Rv,
hipotek termasuk bentuk grosse akta. Apabila pada sertifikat hipoteknya
dicantumkan titel eksekutorial DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA, maka pada hipotek itu melekat kekuatan eksekutorial (executoriale
kracht) karena undang-undang sendiri mempersamakannya dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila debitur cidera janji, Kreditur dapat
meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang kemudian
akan mengambil tindakan prosedur sesuai Pasal 196 dan Pasal 197 HIR hingga
mengeluarkan penetapan Sita Eksekusi (executoriale beslag) atas barang
obyek hipotek. Selanjutnya panitera atau juru sita akan melakukan penyitaan,
membuat Berita Acara Penyitaan, dan mengumumkan penyitaan dengan cara
mendaftarkannya pada kantor pejabat yang berwenang sesuai Pasal 198 HIR.
Setelah Ketua PN menerbitkan Penetapan Penjualan Lelang (executoriale
verkoop) berdasarkan pasal 200 ayat (1) HIR, maka dilakukan penjualan
lelang dengan perantaraan Kantor Lelang.
c. Penjualan lelang oleh kreditor berdasarkan
kuasa sendiri.
Hal ini dapat dilakukan apabila akta hipotek
memuat klausul eigenmachtige verkoop sebagaimana dimaksud Pasal 1178
KUHPer. Dalam hal debitur cidera janji, kreditur
dapat menjual barang hipotek tanpa memerlukan intervensi Pengadilan Negeri,
tetapi penjualannya harus dilakukan di muka umum melalui lelang dengan bantuan
dari Kantor Lelang.
d. Penjualan di bawah tangan.
Mengacu pada Pasal 224 HIR dan Pasal 1178
ayat (2) jo. Pasal 1211 KUHPer, obyek hipotek kapal laut tidak boleh dijual
oleh kreditur melalui penjualan di bawah tangan. Namun, dengan menggunakan
pendekatan secara analog terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUHT, maka dapat
dibenarkan penjualan di bawah tangan atas obyek hipotek kapal laut. Cara
pelaksanaannya sepenuhnya berpedoman pada Pasal 20 UU HT tersebut.
e.
Eksekusi terhadap kapal laut
yang berada di luar wilayah Indonesia.
Terhadap
eksekusi benda yang berada di luar wilayah Indonesia belum ada dasar hukumnya.
Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah dengan mengajukan gugatan atau
permohonan eksekusi kepada pengadilan tempat kapal tersebut berada atau meminta
pengadilan indonesia memerintahkan debitur untuk mengembalikan kapal tersebut
ke Indonesia. Selain itu Pasal 315e KUH Dagang mengatur bahwa terhadap kapal
yang telah dihipotikkan di Indonesia yang akan dilakukan lelang sita di luar
wilayah Indonesia, maka kapal-kapal tersebut tidak dibebaskan dari hipotiknya
di Indonesia.
8. Jelaskan
mengenai Hipotik Pesawat Udara!
Jawab :
a.
Pengertian
pesawat udara.
Pengertian pesawat udara menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena
gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap
permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Selain pesawat udara, istilah
lain yang digunakan dalam Undang-undang Penerbangan adalah pesawat terbang dan
helikopter. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
bersayap tetap dan dapat terbang dengan tenaga sendiri. Sedangkan helikopter
adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap putar yang rotornya
digerakkan oleh mesin. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pesawat
terbang dan helikopter merupakan bagian dari pesawat udara.
b.
Pembebanan hipotik terhadap pesawat udara.
Sebagaimana hipotik dapat dibebankan pada
kapal laut dengan bobot diatas 20 m3, hipotik juga dapat dibebankan atas
pesawat udara. Karena pesawat udara dan kapal sesungguhnya memiliki sifat yang
hampir serupa. Namun kendala utamanya adalah tidak ada peraturan yang jelas
mengenai hipotik pesawat udara, berbeda dengan peraturan untuk kapal yang sudah
lengkap. Hal itu sebenarnya dapat dimengerti karena pengaturan mengenai kapal
sudah diatur sejak lama dalam KUHD. Berbeda dengan pesawat udara yang
pengaturannya baru berkembang pesat pada abad ke-20.
Ketentuan
mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU
No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan
pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
a)
Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau
dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
b)
Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan
Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus
menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk
perjanjian lainnya;
c)
Dimiliki oleh instansi pemerintah;
d)
Dimiliki oleh lembaga tertentu yang
diizinkan pemerintah.
Selain tanda pendaftaran
Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat
terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai
tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan
diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda
pendaftaran Indonesia.
Pasal 12 UU
penerbangan mengatur pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter,
yakni sebagai berikut :
a)
Pesawat terbang dan
helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia
dapat dibebani hipotek.
b)
Pembebanan hipotek pada
pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
didaftarkan.
c)
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Benda yang dihipotikkan harus diuraikan dengan rinci dalam perjanjian
hipotik, uraian perincian yang jelas ini bukan masalah karena pada saat pesawat
udara didaftarkan telah diuraikan secara rinci keterangan mengenai pabrik
pesawat udara, mesin pesawat udara, jenis pesawat udara, tipe pesawat udara,
pabrik pembuatnya, nomor seri pesawat udara serta keterangan-keterangan lain
yang diperlukan. Penguraian secara rinci dalam hipotik pesawat terbang ini
yakni untuk memenuhi asas spesialitas dalam hipotik.
Disisi lain terdapat
beberapa kendala sehingga pembebanan atas pesawat terbang dan helikopter
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas sulit
untuk bisa dilaksanakan, yaitu:
a)
Berdasarkan ketentuan
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia ketentuan-ketentuan hipotek
berlaku untuk tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya (dahulu – sedangkan
sekarang atas tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya dibebankan dengan Hak
Tanggungan). Selanjutnya berdasarkan pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Indonesia hipotek berlaku untuk kapal laut berukuran paling sedikit duapuluh
meter kubik (20 m3). Baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang Indonesia tidak menyebutkan mengenai pesawat terbang
dan helikopter.
b)
Pendaftaran atau
Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam
bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku belum tersedia.
c)
Meskipun penjelasan dari
Ayat 1 Pasal 12 UU Penerbangan tersebut menyebutkan bahwa tidak tertutup
kemungkinan dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak
jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya
dengan jaminan fidusia), didalam prakteknya terjadi perbedaan interpretasi
mengenai hal tersebut yang menghambat pelaksanaan pembebanan pesawat terbang
dan helikopter sebagai agunan utang terutama untuk pembiayaan dalam negeri
dengan kreditur bank-bank di Indonesia.
b.
Hipotik Pesawat Udara Berkaitan dengan
Konvensi Cape Town.
Konvensi Cape Town adalah
suatu konvensi yang dibentuk dalam rangka menyeragamkan (standardize)
secara universal transaksi pembiayaan yang terkait dengan benda bergerak,
khususnya pesawat udara dan mesin pesawat. Ini mengingat dalam transaksi
pembiayaan dan penyewaan lintas negara (crossborder) kerap ditemui
masalah eksekusi (enforcement) dari barang jaminan. Dalam konteks
demikian dan untuk memfasilitasi cara pembiayaan yang didasarkan pada asset (asset-based
financing) dan leasing maka diatur ketentuan yang ada dalam
Konvensi. Konvensi Cape Town dibuat dengan tujuan untuk memudahkan dalam memperoleh
dan menggunakan peralatan bergerak yang bernilai tinggi atau memiliki nilai
ekonomi yang sangat berarti serta untuk memfasilitasi pendanaan atas penguasaan
dan penggunaan peralatan tersebut secara efisien. Konvensi Cape Town pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan umum yang berkaitan dengan hak kebendaan/
jaminan yang diakui secara internasional (international interest) atas
beberapa jenis barang bergerak diantaranya pesawat udara, kereta api dan
satelit. Atau dengan kata lain international interest adalah jaminan
yang dipegang kreditor berdasarkan Konvensi.
Konvensi
Cape Town 2001 tentang Jaminan-Jaminan untuk Benda Bergerak (Interest in Mobile
Equipment) berisi (diantaranya) beberapa hal penting berkenaan dengan agunan
terhadap benda-benda bergerak. Obyek benda-benda bergerak yang dapat diagunkan
(agunan internasional) berupa (i) kerangka pesawat terbang (airframe), mesin
pesawat, dan helikopter; (ii) gerbong kereta api (railway rolling stock) ; dan
(iii) aset –aset ruang angkasa.
Ratifikasi
Konvensi Cape Town dan pengaturannya dalam Undang-undang Penerbangan hanya
memberikan jalan keluar bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang
dibebankan atas pesawat udara yang dipasang berdasarkan hukum asing, tetapi
pesawatnya didaftarkan dan dioperasikan di Indonesia. Padahal ketentuan dalam
Konvensi Cape Town memungkinkan perjanjian hak jaminan kebendaan yang sah
berdasarkan hukum Indonesia dan didaftarkan dapat dijadikan suatu kepentingan
internasional berdasarkan Konvensi Cape Town.
No comments:
Post a Comment