Monday, September 23, 2013

Menghitung Hujan Part11 by Santhy Agatha

Yang dilakukan Diandra pertama kali adalah mendorong Axel keras-keras, sejauh mungkin. Napasnya terengah atas ciuman yang sama sekali tidak diduganya itu, dia menatap Axel bingung berlumur kemarahan,


"Kenapa kau lakukan itu Axel?" Diandra sendiri tak habis pikir. Oh astaga. Axel menciumnya! Itu adalah hal yang sama sekali tidak disangkanya. Axel adalah sepupunya! Saudaranya! Dari kecil mereka bersama, dan Diandra selalu menganggap Axel sebagai kakaknya. Tetapi lelaki itu barusan menciumnya, dan Diandra merasa pening yang amat sangat, Axel saudaranya bukan? Dan saudara tidak mungkin berciuman!

Diandra memundurkan langkahnya, menatap waspada ke Arah Axel, tangannya mengusap bibirnya yang masih terasa panas bekas ciuman lelaki itu.

Axel sendiri menatap Diandra dengan tatapan berlumur penyesalan, matanya meredup, ragu,

"Maafkan aku Diandra." Dia sungguh-sungguh tidak merencanakan untuk mencium Diandra. Sungguh-sungguh Axel berharap mampu menahan diri tadi, tetapi Diandra telah menarik batas emosinya yang paling dalam dan memutuskannya, membuat Axel melakukan hal yang sekarang disesalinya, karena dengan itu, dia harus menjelaskan sesuatu yang mungkin akan menyakiti Diandra.

"Kau menciumku," Pipi Diandra merah padam, "Kenapa kau lakukan itu padaku? Apakah kau melecehkanku? Kita ini bersaudara. Dosa besar kalau kau melakukannya."

"Kita tidak bersaudara, bukan saudara sedarah." Axel mengucapkan kalimatnya dengan lirih dan hati-hati, menatap Diandra dalam-dalam.

Diandra tertegun. Kaget. Bukan saudara kandung? Axel jelas-jelas sepupunya, putra dari paman dan tantenya. Mereka sepupu dekat, darah mereka seperti saudara! Ataukah jangan-jangan... Axel anak angkat? memang wajah Axel yang begitu tampan seolah ada darah luar di sana membuatnya tampak sangat berbeda dengan kedua orang tuanya. Apakah benar bahwa Axel anak angkat?

"Apakah kau bukan anak kandung paman dan bibir?" Diandra menyuarakan pemikirannya. Menatap Axel dengan hati-hati. Tetapi kemudian ekspresi wajah Axel tampak kesakitan, lelaki itu seolah ingin berkata tapi menahan dirinya. Berkali-kali dia menahan napas seolah kesulitan berbicara,

"Bukan. Mereka berdua benar-benar orang tua kandungku." Mata Axel menelusuri wajah Diandra yang kebingungan.

Sementara Diandra makin tersesat dalam benang kusut itu, dia menatap Axel bingung,

"Jadi? Kenapa kita bukan saudara kandung? Apakah.... OH!" tangan Diandra menutup mulutnya ketika pemikiran itu menyeruak ke dalam benaknya, "Tidak mungkin!"

Axel tahu bahwa Diandra sudah tahu, dia meringis, berusaha mendekat dan meraih bahu Diandra, tetapi perempuan itu langsung melangkah mundur lagi, menghindari sentuhannya,

"Maafkan aku Diandra."

Mata Diandra berkaca-kaca. Axel tidak membantah. Oh Ya Tuhan? Oh Astaga? Benarkah apa yang dikemukakan oleh benaknya itu? Axel adalah anak kandung paman dan bibinya, tetapi dia dan Diandra bukan saudara sedarah..... itu berarti... Diandra bukanlah anak kandung kedua orang tuanya!

*** 
Reno datang ke rumah Nana dan memarkir mobilnya di sana lalu melangkah menuju teras rumah Nana, Nirina sudah ada di sana, tampak cemas, sudah hampir jam sembilan malam dan Nana belum juga pulang ke rumah. Mama Nana sendiri menunggu di ruang tamu, tampak cemas, dia ikut menyambut kedatangan Reno di depan,

"Bagaimana nak Reno, apakah Nana mungkin sudah menghubungimu? Mama berusaha menghubungi ponselnya, tetapi tidak ada yang mengangkat."

Reno menggelengkan kepalanya lesu, dia sudah mencari kemana-mana, ke toko buku tempat Nana biasana membeli buku, ke kampusnya, dan bahkan Reno ke makam Rangga, sambil membawa harapan yang sangat besar bahwa Nana akan ada di sana. Tetapi ternyata makam itu lengang, tidak ada siapa-siapa di sana. Nana tidak ke makam Rangga.

Lalu Reno dihadapkan dengan ketakutan yang amat sangat, karena dia sama sekali tidak memiliki bayangan akan keberadaan Nana sekarang.

Nana sudah mengetahui tentang jantung Rangga di dalam tubuhnya. Dia pasti sedih... dan juga kecewa pada Reno karena merasa dibohongi...

Mereka bertiga duduk di ruang tamu rumah Nana, ketiga-tiganya cemas,

Mama Nana menatap Reno dan menghela napas panjang,

"Apakah Nak Reno tahu apa penyebab Nana menghilang tiba-tiba seperti ini?"

Reno meringis perih, "Saya ada janji bertemu dengan Nana tadi siang, tetapi Nana tidak datang. Akhirnya saya menelepon Nirina menanyakan keberadaan Nana.... ternyata Nana bertemu dengan Axel di kampus."

"Kau mengenal lelaki yang bertemu dengan Nana tadi siang di kampus?" Nirina menyela tampak kaget.

Reno menghela napas panjang, lalu menganggukkan kepalanya, dia melirik mama Nana yang tampak kebingungan lalu menatap dengan pandangan mata menyesal,

"Ceritanya panjang, tetapi saya akan menceritakan rahasia ini." Reno mendesah, "Axel adalah sepupu dari mantan tunangan saya, Diandra."

Nirina dan Mama Nana saling melempar pandang ketika Reno menyebut nama mantan tunangannya itu, tetapi mereka tidak berkata apa-apa dan menatap Reno, menunggu kalimat selanjutnya.

"Axel menemui Nana untuk mengatakan sebuah rahasia yang telah saya sembunyikan sekian lama. Bukan maksud saya merahasiakannya kepada Nana, saya hanya menunggu waktu yang tepat." tatapan Reno lurus ke arah mama Nana, penuh permohonan maaf, "Sayangnya pada akhirnya Nana mengetahuinya dari orang lain, bukan dari saya...."

"Rahasia apa?" Nirina menyela, penuh ingin tahu.

Reno meletakkan jemarinya di dada kirinya, "Saya pernah sakit jantung, begitu parahnya hingga saya hanya bisa terbaring menunggu donor jantung bagi saya, ketika tidak ada donor jantung, maka kematianlah yang akan menjemput saya...." Reno menundukkan kepalanya, "Donor jantung itu akhirnya datang untuk saya... dan pendonor saya adalah.... Rangga, tunangan Nana yang sudah meninggal."

Mama Nana terkesiap, menutup mulutnya dengan jemari untuk menutupi kekagetannya, sedangkan Nirina tampak menahan napas dengan wajah shock.

"Rangga...? Rangga mendonorkan jantungnya?"

"Mungkin Rangga merahasiakan semuanya, saya tahu bahwa Rangga sama sekali tidak punya keluarga dari Nana. Yang saya tahu, Rangga sudah melakukan kesepakatan sukarela dengan pihak rumah sakit, bahwa jika terjadi sesuatu padanya, dia ingin jantungnya didonorkan kepada siapapun yang membutuhkan...."

Dan Renopun bercerita, bagaimana dia selalu memimpikan Nana bahkan sebelum dia bertemu dengan Nana. Bagaimana dia memutuskan meninggalkan tunangannya untuk mengejar Nana, perempuan yang selalu didebarkan oleh jantungnya, Bagaimana kemudian dia jatuh cinta kepada Nana, sepenuh hati dan jiwanya dan bukan hanya karena jantung itu.

"Saya mencintai Nana, dan saya tahu Nana pasti sangat membenci saya sekarang karena merahasiakan semua ini darinya, sekarang dia tahu... dan dia pasti tidak ingin menemui saya." Reno meremas rambutnya frustrasi. "Saya tidak tahu lagi di mana saya bisa menemukan Nana, semua tempat yang mungkin sudah saya datangi, bahkan sampai ke makam Rangga, tetapi Nana tidak ada..."

Secercah kesadaran tiba-tiba muncul di wajah Mama Nana, dia mengerutkan keningnya

"Mungkin ada satu tempat yang belum kamu datangi untuk mencari Nana, Reno..."

*** 

Diandra merasa kakinya lemas sehingga  dia mundur dan terduduk di sofa itu, wajahnya pucat pasi membuat Axel cemas, dia langsung duduk di sebelah Diandra dan menggenggam tangannya, mencoba memberikan kehangatan kepada tangan Diandra yang tiba-tiba dingin seperti es - syukurlah Diandra tidak menolaknya.

"Maafkan aku harus menyakitimu seperti ini, Diandra..." Axel menatap Diandra dalam, hatinya terasa sakit melihat ada kepedihan di sana, di dalam mata Diandra ketika mengetahui kenyataan tentang dirinya. Oh ya Ampun, menyakiti Diandra adalah hal terakhir yang diinginkan Axel. Dia mencintai Diandra, yang diinginkannya hanyalah kebahagiaan perempuan itu. Tetapi untuk bisa mencintai Diandra tanpa dipersalahkan, Axel terpaksa membuka semuanya, meskipun itu mengoyak perasaan Diandra.

"Benarkah...?", Diandra mengernyitkan keningnya, "Aku bukan anak kandung mama dan papa?"

Jemari Diandra bergetar, membuat Axel menggenggamnya makin erat, 

"Paman mengalami kecelakaan di masa muda sehingga tidak mampu menghasilkan keturunan..." Axel berucap dengan hati-hati, jemarinya meremas jemari Diandra dengan lembut, "Tante tidak mau melakukan program bayi tabung dari sperma lelaki lain, beliau memilih mengangkat seorang bayi perempuan dari panti asuhan. Bayi itu kau, Diandra. Dan meskipun kau bukan anak kandung mereka, kau selalu menjadi kesayangan mereka, kasih sayang yang mereka limpahkan kepadamu bahkan serupa dengan kasih sayang orang tua kandung kepada anaknya, kau sendiri menyadarinya bukan?" bisik Axel lembut, berusaha membesarkan hati Diandra.

Diandra tercenung, merasa pening tiba-tiba. Kenyataan ini tidak siap dihadapinya, dia ke Bandung untuk menenangkan diri, berusaha menguatkan hati dan membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan Reno... tetapi kenapa dia harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini? Kenapa Tuhan memberikan ujian yang begitu bertubi-tubi atas kekuatan hatinya?

"Diandra." Axel berbisik cemas ketika Diandra hanya diam saja dnegan tatapan mata kosong, "Kau tidak apa-apa?"

Diandra mengangkat matanya, menatap Axel.. saudara sepupunya... bukan. Axel bukanlah saudara sepupunya, Diandra hanyalah anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya yang diambil atas kebaikan hati kedua orangtua angkatnya. Tiba-tiba air mata Diandra menitik,

"Apakah kau tidak jijik berada bersamaku? Aku.... bahkan asal usulku ternyata tidak jelas, tidak tahu darimana..... pantas Reno meninggalkanku... pantas saja..." tangis Diandra pecah, tersedu-sedu.

"Sayang... sayangku." Axel meraih Diandra ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala perempuan mungil itu ke dadanya yang bidang, "Jangan berpikir seperti itu. Setiap orang picik akan selalu memandang dari mana sesorang berasa, padahal kebijaksanaan hanya akan perlu melihat ke mana seseorang melangkah, apakah ke jalan yang baik atau ke jalan yang buruk. Bagiku, darimanapun asal usulmu, kau adalah Diandraku, perempuan berjiwa kuat, perempuan dengan tawanya yang indah, perempuan baik hati yang selalu berusaha membahagiakan orang-orang yang dicintainya...." Axel mengangkat dagu Diandra, membuat wajah mereka berhadapan, "Dan juga perempuan yang kucintai." Dia lalu menunduk dan mengecup dahi Diandra dengan lembut.

*** 

Nana berdiri dengan ragu, menatap pintu yang sudah terkunci lama itu. Jemarinya menggenggam erat kunci pintu itu, sampai menimbulkan bekas di telapak tangannya, rasanya sakit dan menyengat tetapi bahkan Nana sudah tidak mampu merasakannya, hatinya terlalu sakit.

Dengan ragu dan perasaan perih luar biasa, Nana memasang kunci itu, dan membuka pintu ruangan itu. Aroma pengap karena ruangan yang tidak pernah dibuka lama menyemburnya, tetapi Nana tetap melangkah masuk, kemudian mengunci pintu di belakangnya.

Matanya berkelana, menatap sekeliling ruangan, seolah-olah sang waktu membawa tubuhnya ke masa-masa itu, masa-masa indahnya bersama Rangga.....

Meja dan kursi itu tetap di sana, dalam kondisinya semula menghadap ke jendela kaca yang besar, tempat Nana dan Rangga sering duduk bersama, menyesap secangkir minuman hangat dan menghitung hujan bersama.... Aromanya masih sama meskipun bercampur aroma pengap, harum kayu-kayuan dan musk yang berasal dari sisa-sisa pengharum ruangan yang masih terpasang di salah satu dinding.

Ini adalah apartemen Rangga. Tempat seluruh kebahagiaan Nana yang tertumpah bersama Rangga. Nana belum pernah kesini sekalipun setelah kematian Rangga, meskipun tempat ini diwariskan kepadanya. Dan tempat ini ditinggalkan sama seperti semula. Sama seperti ketika terakhir kalinya Rangga berangkat pergi dari sini, dan kemudian meninggal tak kembali lagi....

Air mata Nana membanjir oleh perasaan pilu yang meremas hatinya. Dia masih teringat janji Rangga di waktu itu, janji yang diucapkannya dengan sendu dan kelabu. Janji yang ternyata terus melingkupinya sampai saat ini.

"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."

Tubuh Nana rubuh, ambruk ke lantai, dia jatuh berlutut dan membungkukkan tubuhnya, berguncang-guncang karena tangisan yang keras dan tak tertahankan. Sedu sedan Nana begitu keras sampai suaranya serak, menangisi janji yang ternyata selalu tertepati itu.

Jantung Rangga ternyata masih ada, masih selalu berdetak, hanya untuk Nana......

No comments:

Post a Comment