Monday, September 23, 2013

Menghitung Hujan Part 14 by Santhy Agatha

Ini adalah kakak lelakimu.” Ibu Dewi menunjuk ke anak lelaki kurus di foto itu, yang dirangkul oleh ayahnya, kemudian menatap Diandra dengan sedih, “Seandainya saya punya kesempatan untuk memberitahu tentangnya sejak awal Diandra, tetapi kau telah hidup dalam kehidupan baru yang bahagia, dan orangtuamu memutuskan untuk menjagamu dengan tidak memberitahukan informasi apapun, hal itu menahan saya untuk mengganggu kehidupanmu dengan informasi ini.”

Ibu Dewi menghela napas panjang lalu melanjutkan, “Kakak lelakimu berumur tiga tahun ketika kecelakaan yang menewarkan kedu orang tuamu terjadi, kalian berdua diserahkan di panti asuhan ini bersama-sama. Sayangnya, kakakmu terlalu besar usianya dan anak yang sudah terlalu besar biasanya jarang sekali diminati untuk diadopsi. Pada akhirnya kakakmu harus berpisah denganmu karena orangtua angkatmu memilihmu untuk diadopsi.” Ibu Dewi menatap Diandra lembut, “Meskipun terpisah, saya tahu kakakmu selalu mencintaimu. Dia tumbuh dan besar di sini, kami menyekolahkannya karena dia sangat pandai, di pagi hari dia bersekolah dan setelahnya dia membantu di panti asuhan ini, bekerja apapun yang bisa dilakukan untuk membantu kami. Dan ketika usianya 17 tahun, dia memutuskan bahwa dia sudah dewasa sehingga meninggalkan panti asuhan ini dan menjalani hidupnya sendiri. Dia sukses dalam kehidupannya, dan walaupun begitu kakakmu tidak pernah lupa mengunjungi kami, katanya dia menganggap panti asuhan ini adalah rumahnya, Saya ingat dia selalu datang di hari raya, membawakan makanan dan baju baru yang begitu banyak untuk anak-anak panti di sini.” Mata ibu Dewi menerawang.

Diandra menatap perempuan setengah baya di depannya itu dengan penuh harap, informasi ini benar-benar mengejutkannya sekaligus membuatnya bertekad. Dia memiliki seorang kakak kandung, lelaki yang sukses kalau menurut kisah ibu Dewi ini. Jadi dimana dia bisa menemukan kakak lelakinya itu?

“Di mana saya bisa menemukan kakak saya, ibu?” Diandra menyuarakan pertanyaan  di benaknya, menatap ibu Dewi sepenuh rasa penasarannya.

Tetapi seketika itu juga ada mendung menggumpal di wajah ibu Dewi, mata perempuan itu tampak berkaca-kaca.

“Karena itulah tanpa mempedulikan semua aturan, waktu itu saya menghubungi orangtuamu Diandra.  Karena menurut saya kau harus tahu.” Ibu Dewi menatap Diandra dalam-dalam, “Rangga, kakak lelakimu sudah meninggal karena kecelakaan yang menimpanya.

Seketika itu juga Diandra dan Axel berpandangan, mata mereka menyuarakan pertanyaan yang sama,

Rangga??

***

Nana turun dari taxi di depan rumahnya dan langsung menghambur masuk, dia hampir saja bertabrakan dengan mamanya yang menyambutnya di depan, diikuti oleh Nirina yang masih menunggu di sana,

“Reno di sini?”

Nana bertanya dengan suara serak, ketakutan. Apakah ketakutannya benar-benar akan menjadi kenyataan? Apakah kata-kata Reno sebelum pergi tadi menunjukkan bahwa dia akan melakukan sesuatu yang nekat seperti bunuh diri?

Jantung Nana berdebar. Tuhan. Nana tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi sesuatu pada Reno. Dan itu murni... murni dia mencemaskan lelaki itu, bukan karena ada jantung Rangga di dalam tubuhnya!

Mama Nana menatap Nana yang panik sambil mengangkat alisnya,

“Tidak Nana, Reno tadi pergi untuk menemuimu di apartemen Rangga, apakah kau tadi ada di sana? Apakah kau bertemu dengannya?”

Wajah Nana pucat pasi,

“Ya aku bertemu dengannya di apartemen... kemudian aku..aku setengah mengusirnya.” Mata Nana tampak berkaca-kaca, “Lalu dia pergi dan mengucapkan kata-kata yang membuatku takut....”

“Nana.” Mama Nana memeluk pundak Nana dengan lembut,  “Ayo kita masuk dulu Nana. Tenang dulu...”

***

“Rangga?” Akhirnya Axel dan Diandra menyuarakan pertanyaan itu bersamaan, tiba-tiba saja napas Diandra terasa cepat dan kepalanya pening.

Tidak mungkin bukan? Tidak mungkin Rangga yang itu bukan?

Nama Rangga terpatri jelas di benak Diandra, itu adalah lelaki yang menyumbangkan jantungnya untuk Reno, memberikan kehidupan kepada kekasihnya, sekaligus merenggut cinta Reno untuknya.

Apakah mungkin Rangga yang itu? Bagaimana bisa suatu kebetulan berjalan seperti ini?

“Ya Diandra, Rangga adalah nama kakakmu, nama yang sama yang diberikan oleh orang tua kandungmu. Dia meninggal karena kecelakaan lebih dari setahun yang lalu.” Ibu Dewi menatap Diandra dengan menyesal, “Seandainya aku bisa memberitahumu lebih awal, tetapi Rangga sendiri juga tidak menyarankan untuk menghubungimu..”

“Rangga mengetahui tentang siapa diriku?” Diandra bertanya bingung, kalau begitu kenapa kakaknya tidak pernah menghubunginya?

“Ya, Rangga tahu tentu saja, dia bahkan selalu mengawasimu dengan diam-diam. Katanya dia tidak mau menunjukkan jati dirinya dan menghancurkan apa yang sudah kau percayai... yah orangtuamu tidak pernah mengatakan bahwa kau anak angkat, Rangga takut kalau kau tahu bahwa kau anak angkat, kau akan sedih...” Ibu Dewi tersenyum, rupanya kenangannya akan Rangga begitu indah, ‘”Karena itulah Rangga menahan diri, menatapmu dalam diam dan mengawasimu, dia bilang lebih baik dia menahan diri asal kau bahagia.”

Axel tampak tak sabar dengan pertanyaan yang menderanya,

“Rangga yang ini, apakah dia mendonorkan jantungnya setelah meninggal?”

Ibu Rahma menatap Axel tak kalah terkejutnya,

“Wah ternyata anda sudah tahu ya?”

Hening...

Hening yang lama dan tak terisi. Wajah Diandra pucat pasi.

***

“Tunggu, kau kan bisa menelepon Reno.” Nirina akhirnya memberi usul sambil membawakan air putih kepada Nana yang panik.

Mama Nana duduk di sebelah Nana, memeluk anaknya dan berusaha menguatkannya. Nana pasti benar-benar shock, mengingat pengetahuan yang diperolehnya mengenai jantung siapa yang ada di dada Reno. Apalagi setelah Nana merasa bisa melangkah dan menyimpan Rangga dalam kenangan lalu belajar mencintai Reno.

“Ah yaa...” Karena begitu paniknya, Nana sama sekali tidak memikirkan tentang menelepon Reno dengan ponselnya. Setidaknya dia bisa mencegah Reno kalau memang benar lelaki itu ingin bertindak nekat, dan setiaknya dia bisa tahu bahwa Reno baik-baik saja. Betapa bodohnya dia karena tidak sadar dari tadi.

Nana menelepon Reno, dan menunggu dengan jantung berdebar sampai nada sambung terdengar, satu kali, dua kali.... dan sampai lama tidak ada yang mengangkat di seberang sana, membuat Nana merasa sesak di dada.

Lalu setelah tiga kali mencoba, telepon itu diangkat, tetapi bukan suara Reno yang menjawab.....

***

“Jadi... Rangga kakak saya adalah Rangga yang juga mendonorkan jantungnya?” Diandra gemetaran tak terkendali, sudah mengetahui jawabannya meskipun dia sendiri tidak mampu menerima kebenaran itu.

“Ya. Dan ternyata kalian sudah tahu....., Rangga merahasiakan keputusannya itu. Pada suatu hari dia datang dan meminta tandatangan saya, sebagai keluarga yang akan mengurus seluruh izin karena dia menandatangani persetujuan untuk mendonorkan jantungnya ketika dia meninggal nanti. Waktu itu saya sempat bertanya kenapa dia berpikiran seperti itu. Sangat jarang ada manusia yang berpkiran untuk mendonorkan organ tubuhnya dengan pemikiran kalau dia mati nanti itu akan berguna untuk orang lain, apalagi seperti Rangga yang masih muda, semua tentu mengira bahwa usianya masih panjang.” Ibu Dewi mendesah, “Mungkin itu lebih seperti sebuah firasat....”

Darah Diandra seakan surut dari kepalanya hilang entah kemana, seluruh tubuhnya dingin, membuat Axel cemas dan meremas jemari Diandra lembut.

“Kau tidak apa-apa Diandra?” Axel menatap wajah Diandra yang pucat pasi.

Ibu Dewi juga melihat ekspresi Diandra dan cemas juga, mungkin perempuan di depannya itu terlalu shock mendapati kenyataan yang baru ditemukannya, dia lalu berdiri dan mengambilkan segelas air dari dispenser, Axel menerimanya dan membantu Diandra minum.

Setelah meminum dia tegukan, Diandra menghela napas panjang, berusaha menormalkan paru-parunya yang tadi terasa sesak.

Jadi benarkah? Benarkah Rangga, kakak kandungnya yang mendonorkan jantungnya untuk Reno?

“Kenapa Rangga tiba-tiba memutuskan untuk mendonorkan jantungnya, ibu?” Axel tiba-tiba bertanya.

Ibu Dewi tersenyum lembut,

“Karena Diandra.”

“Karena saya?” suara Diandra seperti tercekik.

“Karena Rangga selalu mengawasimu... dia melihat bagaimana kau berjuang setia kepada kekasih yang hidupnya hanya bersandar pada ada atau tidaknya donor jantung untuknya. Ya Diandra, Rangga mengetahui itu. Mungkin dia kemudian terinspirasi ketika mengetahui bahwa banyak sekali penderita penyakit jantung yang membutuhkan tranplatasi terkatung-katung, menunggu donor. Mungkin dia jadi berpikir untuk berpartisipasi ketika dia meninggal nanti. Aku yakin sekali Rangga tidak berkeinginan meninggal dengan begitu cepat, dia baru saja akan menapaki kebahagiaan rumah tangga, akan menikah dengan kekasihnya yang sangat cantik, Nana namanya, Rangga pernah menunjukkan fotonya kepada saya, dia bahkan belum sempat membawa Nana kemari untuk dikenalkan kepada saya, sungguh gadis yang malang.” Mata Ibu Dewi menerawang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin suatu saat kau bisa menemuinya Dianda, bagaimanapun dia pernah menjadi calon kakak iparmu, pernah begitu dicintai oleh mendiang kakakmu.”

Diandra tertegun. Tidak percaya akan semua kebetulan ini. Dia tidak tahu apakah harus tertawa ataukah menangis. Rangga adalah kakak kandungnya, lelaki itu mendonorkan jantungnya karena terinspirasi oleh keadaannya. Pasti tidak pernah terpikirkan oleh Rangga bahwa jantungnya akan begitu cocok dengan Reno, kekasihnya. Pasti tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa jantungnya akan membuat kekasih adiknya berpaling hati, meninggalkan Diandra dan mencintai Nana.

Dunia memang begitu rumit, penuh dengan kebetulan yang tak terbaca hati, membuat Diandra kebingungan setengah mati.

Di dalam dada lelaki yang sangat dicintainya... di dalam dada Reno... ada jantung Rangga kakak kandungnya.

***
 
Mereka kemudian berpamitan. Dan karena ibu Dewi tampaknya benar-benar tidak tahu kepada siapa akhirnya jantung Rangga didonorkan, Axel dan Diandrapun tidak memberitahukan bahwa jantung itu telah menyelamatkan nyawa Reno, kekasih Diandra.

Mereka duduk di mobil, dalam keheningan, masih shock atas apa yang baru saja mereka lalui.

Tangan Axel ada di kemudi, tetapi dia tidak menjalankan mobilnya. Lelaki itu menoleh ke Diandra yang merenung dengan ekspresi kosong, kemudian jemarinya terulur, menyentuh rambut Diandra dengan lembut,

“Kau tidak apa-apa?”

Diandra mengangkat kepalanya, menatap Axel yang begitu tampan. Selama ini Diandra tahu bahwa Axel tampan, di masa SMU dulu, Diandra bahkan pernah membantu Axel membalas surat-surat cinta dari teman sekolahnya ketika dia berlibur ke Bandung. Axel selalu mempunyai banyak wanita yang mengejar-ngejarnya sejak dulu. Dan Diandra yakin penggemar Axel pasti banyak sampai sekarang, mengingat semakin bertambahnya usia, ketampanan Axel semakin matang, membuatnya menjadi magnet bagi perempuan manapun. Diandra sendiri tidak pernah terkena pengaruh magnet itu karena dia selalu menganggap Axel saudaranya.

Tetapi sekarang.... setelah dia tahu bahwa dia dan Axel tidak bersaudara, akankah dia..

Diandra menghela napas panjang, mengusir pikiran-pikiran yang memberatkan hatinya itu. Nanti. Semua akan dipikirkannya nanti, semuanya terasa terlalu berat kalau dipikirkan sekaligus, membuat dadanya terasa sesak.

“Aku tidak apa-apa.” Akhirnya Diandra bergumam serak, menatap Axel dengan lembut, “Antarkan aku ke makam Rangga ya.”

Ibu Dewi telah memberitahukan lokasi makam Rangga kepada Diandra. Dan Diandra ingin ke sana, setidak nya untuk meyakinkan hatinya, bahwa dia sebenarnya memiliki seorang kakak, yang selalu mencintai dan mengawasinya diam-diam.

Air mata Diandra menetes satu persatu membasahi pipinya. Seandainya Rangga memutuskan untuk menemuinya, akankah keadaannya menjadi berbeda? Seandainya Diandra punya kesempatan untuk menemui Rangga ketika kakaknya masih hidup, akankah kebahagiaan akan melingkupi mereka semua?

Kenapa dia ditakdirkan mengetahui punya seorang saudara kandung, ketika saudaranya itu telah meninggalkan dunia ini? Tanpa memberi kesempatan baginya untuk bertemu, untuk berkenalan atau bahkan untuk menyayangi?

Diandra menangis terisak-isak dan Axel menatapnya dengan sedih, lelaki itu lalu merangkul Diandra supaya dekat ke dadanya dan menangis di sana.

Ah, merasakan rapuhnya Diandra di pelukannya membuat jantung Axel terasa diremas. Betapa Axel ingin menanggung semuanya untuk Diandra.... betapa inginnya Axel agar Diandra tidak menangis lagi...

***

Mereka sampai di pemakaman sepi itu, pemakaman sepi yang indah dan tertata rapi. Axel turun lebih dulu dari mobil, kemudian menggandeng lengan Diandra untuk turun bersamanya, mereka berjalan dalam keheningan, mengikuti arah yang diberitahukan oleh Ibu Dewi, dan menemukan makam Rangga.

Lalu makam itu ada di sana. Dengan nisan bertuliskan nama Rangga, dan sebuah kutipan puisi perpisahan yang memilukan di sana.
 

‘Kau dan aku- Kita. Lebih murni dari petikan sastra romantis,  meski kisah kita tak seindah cinta dalam sejarah, Tapi janji yang diiringi debaran jantung itu hanyalah milik kita. Dan meskipun debaran itu sudah tak ada, cinta ini akan selalu terjaga – Mencintaimu selalu, Nana’

 
Ini petikan perasaan Nana untuk Rangga. Tiba-tiba batin Diandra terenyuh, terasa begitu pedih. Rangga, kakak yang tidak pernah diketahuinya hingga saat ini memiliki kekasih yang sangat mencintainya.

Dan juga sangat dicintainya..... Diandra merenung, sangat dicintainya sampai membuat jantung Rangga tetap berdetak untuk Nana, bahkan  ketika jiwa Rangga mungkin sudah tidak ada di dunia ini.

“Kakak....” Diandra bergumam pelan, tiba-tiba merasakan kesedihan yang mendalam karena tidak pernah bisa memanggil nama Rangga ketika kakaknya itu masih hidup.

Axel melirik ke arah Diandra yang semakin lama semakin tampak rapuh, dia merangkul Diandra ke dalam pelukannya, memberinya kekuatan dan merasa sangat bahagia ketika Diandra tidak menolak pelukannya.

***
 

“Reno?” Nana masih memanggil nama Reno meskipun dia tahu bahwa yang menjawab teleponnya bukan Reno.

“Halo? Siapa ini?” jawab seorang lelaki dengan sura berat.

“Ini sendiri siapa? Saya bisa bicara dengan Reno? Ini nomor HP Reno bukan?”

“Reno yang mengalami kecelakaan? Saya petugas rumah sakit, ponselnya masih saya pegang, saya sedang berusaha menghubungi orangtuanya...”

Telepon itupun jatuh dari tangan Nana.

***
 
Ponsel Diandra bergetar di sakunya, membuat Diandra tersadar dari isak tangisnya dan mengerutkan kening. Diambilnya ponsel itu dari sakunya dan mengerutkan keningnya ketika melihat nama mama Reno di layarnya.

“Halo mama?” Diandra bergumam lemah, kenapa mama Reno meneleponnya? Dulu Diandra dan mama Reno sangat akrab, apalagi mengingat mama Reno tidak punya anak perempuan, Diandra selalu menjadi anak perempuan kesayangan mama Reno, mereka sering menghabiskan waktu bersama, bercakap-cakap, berbelanja bersama, bahkan ke salon bersama. Hubungan mereka memang agak renggang setelah Reno meninggalkan Diandra begitu saja. Yang pasti Diandra merasakan kecanggungan dari mama Reno setelahnya, tentu saja... mengingat betapa kejamnya perlakukan Reno kepada Diandra, pasti mama Reno merasa bersalah kepada Diandra.

Sejak kejadian itu Diandra jarang berhubungan dengan mama Reno lagi, bahkan hanya sekedar untuk mengirim kabar pun tidak pernah terpikirkan olehnya, dan sekarang mama Reno menghubunginya, pasti ada hal penting tentang Reno.

Tetapi kemudian yang terdengar di sana bukanlah seperti yang diharapkannya. Itu suara isakan, mama Reno menangis!

“Mama sedang dalam perjalanan ke Bandung, Diandra bersama papa.” Diandra memang memanggil mama dan papa Reno dengan sebutan ‘mama’ dan ‘papa’. “Reno....” suara mama Reno tertelan isak tangis, tersedu-sedu. “Reno kecelakaan Diandra, kami tadi menghubungi orang tuamu dan mereka ada di Bandung, semoga kau mau ke sana lebih dahulu Diandra...” mama Reno menyebut nama rumah sakit swasta terkenal yang terletak di pusat kota Bandung.

Jantung Diandra berdebar kencang, dia menatap Axel dengan panik, membuat Axel yang tidak bisa mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya dengan bingung,

“Ada apa?” Axel bertanya penasaran.

Diandra membalikkan tubuhnya, meninggalkan Axel begitu saja, membuat Axel mengejarnya dengan penasaran, lelaki itu akhirnya mengejar Diandra, mencekal lengan perempuan itu dan semakin mengerutkan keningnya ketika melihat air mata Diandra yang berderai,

“Diandra? Ada apa?”

Diandra memalingkan mukanya,

“Antarkan aku ke rumah sakit segera, Reno kecelakaan!”

***

Nana merasakan air matanya berderai, ketakutan. Kalau sampai terjadi apa-apa kepada Reno, maka kesalahan terbesar ada di pundaknya. Dia menolak Reno dengan kasar, tidak mau menerima apapun penjelasan lelaki itu, hanya mementingkan perasaannya sendiri, kebingungannya terhadap keberadaan jantung Rangga di dalam dada Reno.

Memangnya kenapa kalau ada jantung Rangga di sana? Harusnya Nana menyadari bahwa dia sudah bertekat meletakkan Rangga ke dalam kenangannya, sebuah kenangan indah yang akan selalu terpatri ke dalam  benaknya. Bukankah Nana sudah bertekad untuk mencintai Reno dan membuka hatinya kepada lelaki itu?

Bukankah dia dan Reno sekarang masih hidup dan mereka berhak untuk saling mencintai?

Seharusnya Nana memberi kesempatan untuk Reno, bukannya mengusirnya seperti itu, dengan kasar dan tidak memberinya harapan lagi.

Nana memegang pinggang Nirina erat-erat ketika Nirina meliukkan motornya mencoba menyelip di antara kemacetan kendaraan di lampu merah. Sahabatnya itu mengebut, mengantarnya ke rumah sakit dengan segera untuk melihat keadaan Reno.

Apakah Reno sengaja? Mengingat kata-kata terakhir Reno sebelum meninggalkan apartemennya... apakah lelaki itu sengaja dalam kecelakaan ini?

Tidak! Nana  langsung membantah pikirannya itu. Reno tidak akan melakukannya. Nana percaya Reno tidak akan membuang kesempatan kedua untuk menjalani kehidupannya.

Dan sekarang Nanalah yang memohonkan kesempatan kedua untuk dirinya dan Reno. Nana bersumpah dia akan berusaha mengubah segalanya jika Tuhan memberinya kesempatan kedua.

Oh Tuhan... selamatkanlah Reno.

***
 
Untunglah mereka menggunakan motor, karena mereka bisa menembus kemacetan dengan cepat. Setelah menemui resepsionis mereka diinfokan bahwa Reno masih ada di UGD. Nana setengah berlari ke sana diikuti Nirina.

Dia berjalan ke seluruh UGD, menoleh ke kiri dan kanan kemudian dia tertegun.

Dian... Diandra ada di sana. Sedang berbicara dengan dokter.
 

No comments:

Post a Comment